Banjir Bandang Sumatra: Saat Alam Berbicara dan Manusia Harus Bercermin
Bencana banjir dan longsor di Sumatra kembali menyisakan luka mendalam. Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat lebih dari 600 orang meninggal dan ratusan lainnya hilang. Ratusan rumah hanyut, ribuan warga mengungsi, dan jaringan jalan terputus. Bencana ini bukan hanya tragedi alam, tetapi juga cermin besar bagi manusia untuk menilai ulang hubungan dengan bumi yang kita pijak.

Musibah besar ini terjadi akibat curah hujan ekstrem, pengaruh sirkulasi siklonik, serta kondisi geologi Sumatra yang memang rawan—dengan banyak lereng curam, tanah lapuk, dan sungai-sungai kecil yang dapat meluap sewaktu-waktu. Namun para pakar menegaskan bahwa faktor alam ini tidak berdiri sendiri. Banyak wilayah terdampak mengalami penurunan kualitas lingkungan akibat deforestasi, alih fungsi lahan, dan melemahnya daerah penyangga air.
Fakta ini sejalan dengan peringatan Al-Qur’an bahwa kerusakan di bumi kerap lahir dari tangan manusia sendiri. Allah berfirman:
"Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)."
(QS. Ar-Rūm: 41)
Ayat ini mengingatkan bahwa setiap perubahan ekosistem—baik yang disengaja maupun akibat kelalaian—akan kembali berdampak pada manusia.
Hujan Ekstrem dan Siklon: Pemicu Utama
BMKG mencatat bahwa pulau Sumatra berada pada fase puncak musim hujan. Di saat yang sama, terbentuk sirkulasi siklonik di sekitar perairan barat, memicu pembentukan awan konvektif dalam jumlah besar. Fenomena ini membuat hujan turun terus-menerus dengan intensitas tinggi.
Pakar meteorologi ITB menyebut fenomena ini sebagai “trigger” awal yang memulai rangkaian banjir bandang. Namun tanpa kondisi tata ruang dan lingkungan yang kuat, hujan ekstrem mudah berubah menjadi bencana ekstrem.
Peran Kerusakan Lingkungan: Dari Hutan Hilang hingga Aliran Air Terputus
Kawasan Sumatra memiliki fungsi ekologis yang sangat penting: penyangga air hujan, penyimpan cadangan air tanah, dan penahan erosi alami. Ketika vegetasi berkurang dan hutan diganti menjadi permukiman atau perkebunan tanpa analisis risiko, kemampuan tanah menyerap air semakin menurun. Air hujan berubah menjadi limpasan permukaan yang mengalir deras, meluapkan sungai, dan menghancurkan pemukiman.
Islam sejak awal mengajarkan untuk tidak merusak alam, bahkan menegur keras manusia yang bertindak rakus.
"Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah (Allah) memperbaikinya…”
(QS. Al-A‘rāf: 56)
Banjir dan longsor yang kini terjadi, pada satu sisi adalah fenomena alam, namun pada sisi lainnya merupakan peringatan halus tentang bagaimana manusia memperlakukan bumi.
Ketika Kerakusan Mengalahkan Kebijaksanaan
Banyak pakar lingkungan menyebut maraknya pembukaan lahan yang tidak terkendali sebagai faktor yang membuat Sumatra semakin rapuh. Tidak semua aktivitas ini dilakukan secara ilegal, tetapi ketidaksinkronan tata ruang, lemahnya pengawasan, dan pengabaian dampak ekologis membuat risiko meningkat.
Kerakusan manusia pernah diperingatkan oleh Al-Qur’an dalam banyak ayat. Salah satunya:
"Sesungguhnya manusia itu sangat zalim dan sangat bodoh."
(QS. Al-Ahzāb: 72)
Zalim—ketika kita mengambil lebih dari yang seharusnya.
Bodoh—ketika kita tahu risikonya namun tetap melakukannya.
Ayat ini relevan ketika melihat bagaimana wilayah-wilayah rawan longsor tetap dibangun, sungai menyempit akibat sedimentasi, dan hutan-hutan penahan air ditebang.
Saatnya Kembali: Islami, Ilmiah, dan Manusiawi
Bencana ini seharusnya menjadi titik balik, bukan sekadar headline sesaat. Para pakar menyarankan langkah-langkah strategis:
-
Penataan ruang berbasis risiko — pembangunan harus mempertimbangkan potensi banjir & longsor.
-
Rehabilitasi kawasan hutan dan daerah tangkapan hujan — memperkuat kembali fungsi alam sebagai penyangga air.
-
Infrastruktur drainase dan tanggul yang lebih kokoh — terutama di kawasan permukiman padat.
-
Peringatan dini yang lebih efektif — masyarakat harus paham tanda-tanda bahaya.
-
Kesadaran kolektif — bahwa mitigasi bencana bukan hanya urusan pemerintah, tetapi urusan kita semua.
Dan di atas semua itu, Islam mengajarkan bahwa musibah bukan sekadar hukuman, melainkan peringatan untuk kembali kepada kesadaran dan keseimbangan.
"Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri."
(QS. Ar-Ra‘d: 11)
Penutup
Banjir bandang di Sumatra adalah tragedi sekaligus pelajaran. Alam telah memperlihatkan tanda-tandanya; kini manusia dituntut untuk mendengar. Selama kerakusan masih mengalahkan kebijaksanaan, bencana akan selalu datang mengetuk.
Semoga musibah ini menjadi momentum untuk memperbaiki diri, memperbaiki kebijakan, serta memperbaiki hubungan antara manusia dan alam—sebagaimana amanah Allah untuk menjadi khalifah yang menjaga, bukan merusak.
